Tanpa rencana dan tanpa prediksi waktu
dan keadaan membawaku untuk berkendaraan roda dua di kota paling padat di Jawa
Timur, coba tebak di mana? Yap di ibu kota provinsi Jawa Timur yaitu Kota Surabaya.
Ini bukan pertama kali aku ke
Surabaya, sudah beberapa kali aku ke sini, tapi kesannya tetap sama yaitu
panas.
Oke langsung pada pokok bahasan ya.
Datang dari kota kecil yang tidak
pernah merasakan kemacetan, macet hanya terjadi saat mendekat lebaran atau
beberapa hari setelah lebaran, terus dihadapkan dengan kemacetan setiap hari,
tentunya kaget bukan main.
”Gini banget ya motoran di Surabaya.”
Semua serba terburu-buru, itu sensasi
pertama yang aku rasakan.
Masuk akal sih, ibu kota provinsi dengan
segala macam kesibukan dan aktivitas penduduknya, jadi kalau macet wajar.
Selain itu ternyata, kalau nyalip
mobil itu udah biasa kalau dari sebelah kiri. Awalnya aku menunggu saja sampai
mobil di depan jalan gitu, tapi kok sebagian besar pengendara motor roda dua
yang lain kok nyalip dari kiri, karena kalau nyalip dari sebelah kanan aku rasa
lebih bahaya, karena otomatis harus bersimpangan dengan banyak kendaraan dari
arah yang berlawanan.
Seru sih sebenarnya, setiap hari
selalu ada hal baru.
Apalagi kalau di perempatan yang tidak
ada lampu lalu lintas tapi diatur oleh pak polisi atau seringnya orang yang
kata kakakku disebutnya pak Ogah. Di situ kita harus gesit, kalau nggak gesit
pasti kalah cepat dengan pengendara lain dari arah yang berlawanan. Di sini
bukan pak Ogah nya nggak ngatur. Berbekal pengalaman, waktu itu dari arah aku
seharusnya sudah waktunya jalan, tapi ada beberapa orang yang berhentinya tepat
di belakang pak Ogah, jadi aku malah memelankan motorku, alhasil dia yang maju
duluan, terus pak Ogahnya cuma bilang “Aduh mbak”, dalam hati aku nyengir
sendiri, maaf pak masih belum terbiasa. He he he he.
Terimakasih banyak buat pak Ogah – pak
Ogah di Surabaya yang mengatur dan membantu kami dalam menyebrang. Semoga
selalu diberi kesehatan dan kelancaran rezeki.
Mungkin kalau di Pacitan masih berani
melanggar lampu lalu lintas karena sepi, kalau di sini waktunya merah ya
berhenti karena kendaraan penuh, kalau nggak mau celaka jangan serobot lampu
merah. Tapi di sini kalau berhenti di lampu merah, rata-rata di berhentinya di
depan tanda berhenti. Biasanya kan di lampu merah selalu ada tanda putih yang
ada zebra cross nya itu, seharusnya
kita para pengendara tidak boleh melebihi itu kalau berhenti. Iya kan? Tapi di
sini kita nggak bisa putar balik seenak jidat sendiri ya, karena ada tepatnya
sendiri untuk putar balik.
Tapi paling senang kalau harus lewat
kompleks perumahan elite, sambil
tolah-toleh terus bertanya kepada diri sendiri “kapan bisa punya rumah megah di
sini ya” lalu berdoa dalam hati “Semoga kelak bisa beli rumah di sini”,
kebayangkan kalau sehari lewat empat kali berarti aku berdoa empat kali juga. Aamin...
Tetapi kalau pas lewat jalur
perkampungan, hati-hati karena polisi tidurnya banyak banget, kayaknya hampir
setiap 10 cm ada satu polisi tidur. Dan lumayan bikin perut kaget. He he he he.
Jadi apa kesimpulan dari tulisan yang
nggak jelas ini, intinya selain kaget
awalnya aku juga bingung, karena saking banyaknya kendaraan di sini suka pusing
kalau liat banyak kendaraan. He he he harap dimaklumi orang desa masuk kota.
Di manapun kita saat berkendaraa
kuncinya tetap hati-hati.